
Soe-Interpolbhayangkara.com- Di tengah semangat percepatan pembangunan desa, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) justru mengalami perlambatan dalam penyaluran Dana Desa tahap pertama tahun 2025. Hingga pertengahan Maret, hanya empat desa yang berhasil mencairkan dana, sementara ratusan desa lainnya masih tertinggal.
Keempat desa yang “memacu cepat” adalah Desa Neke, Desa Pene Utara, Desa Tobu, dan Desa Noenoni. Mereka menjadi desa-desa pertama di Provinsi NTT yang mencairkan Dana Desa tahap satu. Keberhasilan ini, menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) TTS, Drs. Christian M. Tlonaen, tak lepas dari penggunaan aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) yang mempermudah pencairan dana.
“Ini semua karena dukungan penuh terhadap Siskeudes, yang memungkinkan administrasi keuangan desa menjadi lebih transparan dan cepat,” jelasnya pada Selasa, 18 Maret 2025.
Namun, pertanyaan besar kini muncul: Mengapa ratusan desa lainnya di TTS masih terlambat?
Saat ini, 64 desa telah menyelesaikan SPJ tahun anggaran 2024 dan sedang dalam proses evaluasi serta asistensi RKPDes dan APBDes Tahun Anggaran 2025. Sementara itu, 202 desa lainnya masih terjebak dalam tahap penyelesaian laporan pertanggungjawaban (SPJ) tahun 2024 sebelum masuk ke tahap evaluasi dokumen perencanaan 2025.
Keterlambatan ini menjadi perhatian serius, mengingat batas waktu penyaluran Dana Desa tahap satu adalah hingga 15 Juni 2025. Jika tidak segera diproses, risiko gagal salur bisa terjadi, seperti yang dialami 15 desa di tahun 2024.
Dinas PMD TTS telah mengeluarkan surat teguran dan imbauan kepada seluruh desa agar mempercepat penyelesaian administrasi keuangan. “Bagi saya, lebih cepat lebih baik, sehingga kita bisa mengantisipasi kemungkinan gagal salur,” tegas Christian.
Untuk mempercepat proses pencairan, Dinas PMD telah mengadakan rapat koordinasi dengan Koordinator Tenaga Pendamping Desa dan Tenaga Ahli. Rapat ini bertujuan untuk menyamakan persepsi dan strategi dalam mendampingi desa-desa agar bisa segera menyelesaikan dokumen perencanaan anggaran kegiatan mereka.
“Kami meminta agar teman-teman pendamping desa benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik dan sungguh-sungguh membantu desa dalam menyiapkan dokumen perencanaan kegiatan desa dan pengelolaan administrasi keuangan,” ujar Christian.
Ia juga berharap, keterlambatan tahun lalu bisa menjadi pembelajaran bagi semua pihak. “Mudah-mudahan pengalaman tahun lalu menjadi edukasi bagi kita semua, agar kita bisa memperbaiki niat, perilaku, dan sistem pengelolaan keuangan desa ke depan. Pada prinsipnya, kita harus jujur, terbuka, dan optimis untuk keluar dari permasalahan yang terus berulang,” pungkasnya.
Waktu terus berjalan, dan batas akhir Juni 2025 semakin dekat. Jika tidak segera dipercepat, ratusan desa di Kabupaten TTS berisiko menghadapi keterlambatan pembangunan akibat dana yang belum tersalurkan. Kini, bola ada di tangan para kepala desa dan perangkat desa. Akankah mereka segera bergerak menyelesaikan administrasi keuangan agar tidak mengalami nasib yang sama seperti 15 desa yang gagal menerima dana tahun lalu? Ataukah keterlambatan ini akan terus berulang, menghambat pembangunan desa dan kesejahteraan masyarakat?